Dalam hal ini, penegakan keadilan lebih cenderung kepada retributive justice, yang menekankan keadilan pada pembalasan. Sementara perkembangan dalam penyelesaian perkara pidana saat ini lebih cenderung kepada restorative justice, yang menekankan keadilan pada pemulihan keadaan semula yang berorientasi pada korban, pelaku, dan lingkungan komunitas masyarakat. Keadilan restoratif ini lebih menekankan penyelesaian masalah melalui musyawarah dengan melibatkan pelaku, korban, dan komunitas masyarakat antara lain: Ketua RT, Ketua RW, Kepala Desa, tokoh agama di lingkungannya. Implementasi keadilan restoratif di luar pengadilan tersebut dapat terlaksana ketika terdapat pengakuan bersalah dari pelaku, persetujuan dari pihak korban/keluarga untuk memaafkan pelaku, dan dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat.
Family Court di negara-negara sekuler tidak menimbulkan masalah terhadap sistem peradilan yang berlaku karena tidak mengenal peradilan khusus bagi warga negara berdasarkan agama tertentu. Hal ini tentu saja berbeda dengan di Indonesia, dalam mana terdapat peradilan agama yang khusus menangani perkara antar orang Islam berdasarkan hukum Islam, khususnya dalam bidang hukum keluarga. Hukum keluarga merupakan bidang hukum Islam yang berlaku di negara-negara muslim, berbeda dengan hukum pidana.
Ketika terdapat peradilan khusus yaitu peradilan keluarga yang bersifat nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara tanpa membedakan agama dengan kewenangan yang mencakup perkara perdata dan pidana, maka akan menimbulkan dampak bagi kewenangan peradilan agama, yaitu reduksi kewenangan dalam menangani masalah hukum keluarga atau jika tidak, bisa jadi kewenangan peradilan agama yang diperluas untuk menangani masalah pidana yang terkait dengan masalah keluarga, seperti KDRT. Namun demikian, akan timbul persoalan lain yaitu dari segi efisiensi pembentukan peradilan keluarga, apakah nantinya peradilan keluarga hanya akan menangani perkara antara orang-orang non-muslim saja, sementara perkara antara orang-orang Islam masih menjadi kewenagan peradilan agama.
Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim, memang memiliki keunikan tersendiri. Politik hukum yang berlaku tidak dapat tidak harus mengakomodasi suara mayoritas, termasuk dalam hal formalisasi institusi Islam, sehingga di Indonesia terdapat Departemen Agama yang khusus menangani lembaga pendidikan Islam, termasuk juga keberadaan Peradilan Agama. Selain itu, faktor sejarah eksistensi peradilan Islam di Indonesia juga tidak dapat dilupakan begitu saja, karena akan mencederai perasaan umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Namun di sisi lain, formalisme yang lebih menekankan pada simbol-simbol keislaman dapat menjadi penghalang untuk mewujudkan Islam rahmatan lil-alamin di negara yang plural. Sementara sisi substansi ajaran Islam, yang lebih bersifat normatif universal cenderung diabaikan. Munculnya perda-perda syariah merupakan contoh dari formalisme, sementara keberadaan UU Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak, merupakan contoh dari peraturan yang secara substansi tidak bertentangan dengan hukum Islam, atau dapat disebut sebagai hukum nasional yang Islami.
Dalam mencari format peradilan keluarga di Indonesia, proses pembentukan peradilan keluarga di Mesir menarik untuk dikaji. Pembentukan peradilan khusus keluarga di Mesir diatur dalam UU No. 10 tahun 2004 sebagai tindak lanjut atas rekomendasi dari hasil penelitian yang menganalisis hukum acara maupun hukum materiil yang mengatur perkara-perkara keluarga. Penelitian tersebut menunjukkan sejumlah gap dan kekurangan dalam hukum acara dan hukum materiil yang sering berakibat pada proses hukum yang lama dan tidak adil bagi pihak berperkara perempuan (Tosson, 1999).
Namun demikian, sejak pengadilan syariah dihapus pada tahun 1955 sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk melakukan sentralisasi sistem hukum, pengadilan syariah diintegrasikan ke dalam sistem pengadilan nasional dan hukum keluarga diperiksa dan diputus dalam pengadilan nasional dengan hakim-hakim yang terlatih dalam hukum syariah (dengan hakim-hakim yang terpisah untuk dan peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang melibatkan orang-orang Kristen Koptik dan Muslim).
Nah, bagaimana dengan konteks sistem peradilan di Indonesia? Peradilan Agama berpeluang untuk menjadi peradilan keluarga dengan perluasan kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara pidana terkait pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan maupun tindak kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, kewenangan Peradilan Agama adalah mengenai perkara tertentu bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam. Apalagi selama ini Peradilan Agama telah melakukan fungsi peradilan keluarga meski masih terbatas dalam masalah perdata.
Terkait dengan perluasan kewenangan peradilan agama dalam menangani perkara pidana yang mencakup pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan maupun tindak kekerasan dalam rumah tangga, setidaknya menimbulkan dua persoalan. Pertama, hukum pidana apa yang akan diterapkan? Memang, ada kekhawatiran dalam tataran politik hukum, bahwa jika peradilan agama diberi kewenangan dalam perkara pidana keluarga, maka Peradilan Agama akan menerapkan hukum pidana Islam secara umum, bukan hanya terbatas pada jarimah ta’zir.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa memang hukum pidana Islam mencakup hudud, qishas atau diyat, dan ta’zir. Ketika seorang suami menganiaya istrinya, misalnya memukul, bahkan sampai melukai, mungkin ada yang berpendapat bahwa hukum Islam yang berlaku adalah dengan qishas. Sementara hampir sulit dijumpai penerapan hukuman qishas dalam kasus di atas pada masa awal Islam, apalagi hal itu dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya. Ketika menjelaskan sabab an-nuzu>l Q.S. 4: 34, seluruh mufassir klasik seperti Tabari, Fakhruddin Razi dan yang lainnya bependapat bahwa Nabi mengijinkan Habibah binti Zaid untuk membalas suaminya yang telah menamparnya secara tidak adil, tetapi dalam pandangan etika sosial yang sedang berlaku, sikap Nabi saw. tersebut telah menimbulkan kegelisahan di antara kaum laki-laki, dan al-Qur’an merevisi keputusan Nabi saw.
Selain itu, hukuman qishas bukanlah harga mati dalam Islam, ada alternatif lain yang ditawarkan oleh Islam, yaitu diyat (tebusan) dengan syarat ada maaf dan persetujuan dari korban. Melalui diyat inilah sebenarnya Islam sejak awal telah menawarkan keadilan restoratif.
Hukuman qishas juga perlu dipahami dalam konteks masyarakat kesukuan di Arab pada masa awal Islam, dalam mana karena sifat ashabiyah yang begitu kuat, konflik yang terjadi antara seorang anggota suku dengan anggota suku yang lain dapat memicu pertempuran yang lebih besar antara kedua suku. Dalam alam yang demikian itu, hukuman qishas lebih mampu meredam konflik yang lebih besar dan memenuhi rasa keadilan antar suku.
Nah, perkara pidana yang menjadi kewenangan peradilan agama sebagai peradilan keluarga lebih relevan dikategorikan ke dalam kategori jarimah ta’zir, yaitu perbuatan pidana yang hukumannya ditentukan oleh otoritas pemerintah yang berwenang, jadi bisa berupa hukuman penjara, denda, maupun kedua-duanya. Oleh karena itu, kekhawatiran di atas tampaknya tidak cukup beralasan.
Kriminalisasi pelanggaran hukum keluarga, yaitu menjadikan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum keluarga sebagai perbuatan pidana yang dapat dijatuhi sanksi, mendesak dilakukan dalam hukum keluarga di Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum kepada kaum perempuan dan anak yang rentan menjadi korban pelanggaran hukum keluarga. Kriminalisasi merupakan trend reformasi hukum keluarga di dunia Islam modern. Dari hukum keluarga dalam fikih klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal (Saleh, 2006). Dalam hal ini terdapat pergeseran dari privatisasi hukum keluarga pada masa lalu ke arah deprivatisasi hukum keluarga di masa sekarang. Masalah hukum keluarga tidak lagi diserahkan kepada kehendak bebas masing-masing individu, tetapi ada campur tangan pemerintah untuk mewujudkan hukum keluarga yang berkeadilan, khususnya dalam bidang perkawinan.
Masalah yang kedua yaitu terkait dengan efisiensi pembentukan peradilan keluarga. Persoalannya adalah bagaimana dengan orang-orang non-muslim jika peradilan keluarga diperiksa dan diputus di Peradilan Agama? Tentu sangat tidak efisien jika harus dibentuk peradilan keluarga tersendiri bagi orang-orang non-muslim. Dalam hal ini kita dapat membuat alternatif sebagaimana peradilan keluarga yang berlaku di Mesir, yaitu dengan menyediakan hakim-hakim tersendiri dan peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang melibatkan orang-orang non-muslim.