logo website 24 okt 2023

Ditulis oleh Aprina Chintya on . Dilihat: 45090

 

EKA FITRI HIDAYATI

Oleh : Eka Fitri Hidayati

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkembangan masyarakat yang dinamis serta pegaruh globalisasi dan modernisasi yang disokong oleh kemajuan ilmu teknologi dan informasi telah mempengaruhi dan cara pandang hidup manusia yang ditandai dengan berkuasanya teknologi merupakan dampak dinamisme masyarakat dalam konteks perubahan sosial.

Dalam dunia Hukum, fenomena digital tersebut telah direspon dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan dalam penerapannya di persidangan.

 

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi 20/PUU-XIV/2016 semakin menguatkan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 Undang-undang ITE Tentang keabsahan alat bukti, dimana secara prinsip bahwa alat bukti tersebut bisa dijamin keasliannya dalam menggambaran suatu perkara.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memang berlakang belakang pada kasus pidana, namun bukan berarti putusan tersebut tidak dapat diterapkan dalam penangan perkara perdata, karena pada saat ini banyak sekali permasalahan perdata seperti kontrak, transaksi dan sebagainya. Namun demikian tidak serta merta informasi dan transaksi elektronik tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga bukti tersebut dapat digunakan.

Pada prakteknya kedudukan pembuktian elektronik perkara perdata di Pengadilan Agama masih ditemui banyak kebingungan dikarenakan belum adanya aturan secara jelas yang mengaturnya, karena kekosongan tersebut maka penulis rasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut tentang keabsahan pembuktian elektronik dalam persidangan perdata di Pengadilan Agama.

II. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka diketahui bahwa pada prakteknya pembuktian elektronik di Pengadilan Agama masih ditemui banyak kebingungan dalam menentukan keabsahannya, karena adanya kekosongan Hukum tentang pengaturannya secara jelas dalam Hukum perdata, sehingga perlu untuk dikaji lebih lanjut tingkat keabsahannya.

Berdasarkan alasan tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah, antara lain:

  1. Apa itu pembuktian elektronik dan Bagaimana Undang-undang mengatur tentang pembuktian elektronik?
  2. Bagaimana kedudukan pembuktian elektronik pada perkara perdata di Pengadilan Agama?

III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian Elektronik dan Undang-undang yang Mengaturnya

Istilah pembuktian elektronik mulai dikenal dalam dunia Hukum sejak munculnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE dijelaskan bahwa Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE.

Berdasarkan undang-undang tersebut maka terdapat penambahan jenis alat bukti di persidangan yakni informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dalam ketentuan umum UU ITE dapat diketahui bahwa jenis data elektronik seperti tulisan, foto, suara, gambar merupakan informasi elektronik, jenis bukti elektronik tersebut telah dijelaskan dalam Pasal 5 Undang Undang ITE dikatakan bahwa:

  1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
  2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Undang – undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 masih terlalu umum dalam menjelaskan jenis-jenis alat bukti elektronik, kemudian dalam perubahannya pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 dijelaskan lebih rinci terkait apa saja macam-macam alat bukti elektronik berupa Informasi Elektronik dan Dokumen elektronik, antara lain:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
  3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
  4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dalam sistem pembuktian di Indonesia, Hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa Hakim hanya boleh mengambil keputusan atau menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-undang saja, bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang diatur dalam Pasal 164 HIR/284 RBg mengatur secara limitatif mengenai alat bukti dalam perkara perdata alat bukti, antara lain:

  1. Bukti surat
  2. Saksi
  3. Persangkaan
  4. Pengakuan
  5. Sumpah

Di luar itu, terdapat alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu   peristiwa yang   menjadi   sengketa,   yaitu pemeriksaan setempat (descente) yang diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg,  dan keterangan ahli/saksi ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181RBg.

Secara yuridis, Hukum pembuktian di Indonesia, baik HIR maupun KUH Perdata belum mengakomodir dokumen elektronik sebagai alat bukti, sementara beberapa Undang-undang yang baru telah mengatur dan mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, yaitu antara lain:

  1. Undang-Undang No 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
  2. Undang-UndangNomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
  3. Undang-Undang Nomor 40Tahun 1999 Tentang Pers, Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
  5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi danTransaksi Elektronik

Namun demikian, meskipun   telah   ada   Undang-undang   Dokumen Perusahaan dan UU ITE serta beberapa peraturan lainya, tidak dapat dikatakan bahwa Hukum Acara Indonesia baik perdata maupun pidana telah mengatur secara jelas mengenai alat bukti elektronik dalam pembuktian perdata, karena pengaturan alat bukti elektronik yang telah dilakukan merupakan Hukum materiil yang seharusnya dilengkapi juga dengan Hukum formilnya atau Hukum acaranya.

B. Kedudukan Pembuktian Elektronik pada Perkara Perdata di Pengadilan Agama

Dengan diberlakukannya UU ITE maka terdapat suatu pengaturan yang baru mengenai alat-alat bukti dokumen elektronik. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Selanjutnya di dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah dan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, bahwa UU ITE telah menentukan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan suatu alat bukti yang sah dan merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti di muka persidangan.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU ITE. Dengan demikian penggunaan dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang dianggap sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, yang menentukan bahwa dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung jawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Di samping itu, dokumen elektronik yang kedudukannya dapat disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas, sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Umum UU ITE.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE tersebut terdapat pengecualian, maka apabila para pihak hendak membuat suatu perjanjian yang bersifat formil dianggap belum sah apabila belum dituangkan dalam bentuk tertulis secara manual, baik dalam bentuk akte di bawah tangan maupun akte otentik. Adapun contoh perjanjian yang bersifat formil diantaranya adalah Perjanjian Perdamaian (vide Pasal 1851 BW), Perjanjian Hibah (vide Pasal 1682 BW), serta Perjanjian jual-beli dengan obyek tanah, Akta jual-beli sebidang tanah (vide Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)

Hal yang mendasar dalam penyajian bukti elektronik di persidangan adalah masalah keabsahan dari bukti elektronik tersebut, bukti elektronik harus dinilai otentifikasinya oleh Hakim dengan melakukan pemeriksaan untuk memenuhi syarat formil dan materil bukti elektronik tersebut. Persyaratan alat bukti elektronik menjadi sah dipersidangan telah dijelaskan secara umum dalam Pasal 6 UU ITE, akan tetapi secara tehnis atau formilnya belum ada aturan untuk mengaturnya, sementara ini untuk menjaga keutuhan otifikasi bukti elektronik berdasar pada PP No. 82 Tahun 2012 dan ISO 27037-2012.

Berikut merupakan rangkaian kegiatan dalam empat prinsip yang mendasari seluruh rangkaian kegiatan dalam menangani bukti elektronik untuk menjamin keutuhannya dan dapat dipertanggung jawabkan, yaitu[1]:

  1. Prinsip Menjaga Integritas Data

Terpeliharanya integritas data dengan menjaga setiap tindakan yang dilakukan pada bukti elektronik tidak mengubah atau merusak data yang tersimpan di dalamnya. integritas dan keaslian data dapat ditunjukkan dengan beberapa metode dari teknis forensik. Salah satunya dengan mencocokkan message digest atau hashing terdiri dari rangkaian karakter yang dihasilkan oleh fungsi hash. Hashing dari bukti asli dicocokkan dengan salinan bukti hasil akuisisi, selain itu dikelolanya chain of custody (CoC) dengan baik merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan integritas data.

    2. Prinsip Personel Yang Kompeten

Personel digital forensik yang terpecaya, menangani bukti elektronik asli harus berkompeten, terlatih, dan mampu memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang dibuat dalam proses identifikasi, pengamanan, dan pengumpulan bukti elektronik.

    3. Prinsip Audit Trail

Audit trail atau istilah teknis yang dikenal sebagai Chain of custody (CoC) harus dipelihara dengan cara mencatat setiap tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektronik. Setiap tindakan baik dari proses pengumpulan hingga proses akhir, yaitu pelaporan harus didokumentasikan, dipelihara, dan dapat dievaluasi oleh pihak lain. Prinsip audit trail mengharuskan ada catatan teknis dan praktis terhadap langkahlangkah yang diterapkan terhadap bukti elektronik sejak awal termasuk dalam hal pemeriksaan dan analisis berlangsung, sehingga ketika bukti elektronik tersebut diperiksa oleh pihak ketiga maka seharusnya pihak ketiga tersebut akan mendapatkan hasil yang sama dengan hasil yang telah dilakukan oleh investigator/analis forensik sebelumnya

Selain kepentingan untuk membuat rumusan atas pertimbangan hukum yang tepat, Hakim memiliki kewajiban untuk melakukan otentifikasi bukti elektronik didasarkan pada asas ius curia novit, Asas ini merupakan asas yang melekatkan kewajiban kepada hakim untuk berperan aktif untuk menemukan hukum, mengembangkan hukum, atau membentuk hukum baru, apabila tidak ditemukan hukum tertulis atau suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas aturannya[2]. Penerapan asas ini terdapat pada pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 48 Tahun 2009.

Pada ketentuan tersebut melekat kewajiban pada pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan walaupun hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Terkait bukti elektronik, hingga saat ini belum ada kewajiban secara eksplisit bagi hakim untuk memastikan otentifikasi bukti elektronik dengan mekanisme tertentu. Bahkan, belum ada ketentuan yang memberikan pedoman kepada hakim, apakah dilakukan langsung melalui perangkat penyimpan bukti elektonik atau hasil data imaging.

Mengingat sifat bukti elektronik yang mudah berubah sehingga berpotensi menyebabkan perubahan metadata atau nilai hash data berubah jika pemeriksaan dilakukan langsung melalui perangkat penyimpan. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap otentifikasi bukti elektronik menjadi penting bagi hakim. Hal ini disebabkan karena dalam konteks ini melekat kewajiban bagi hakim untuk menerapkan mekanisme yang tepat dalam memeriksa otentifikasi bukti elektronik berdasarkan asas ius curia novit.

  1. Tahapan Pemeriksaan Bukti Elektronik pada Perkara Perdata di Pengadilan Agama

Pada perkara perdata di Pengadilan Agama sudah sering ditemui bukti-bukti elektronik yang disampaikan oleh para pihak dalam persidangan, antara lain hasil cetak Screenshoot WhatsApp, hasil cetak instagram, hasil cetak SMS, hasil cetak foto, hail cetak bukti transfer bank dan video. Dalam memeriksa dan menentukan keabsahan dan kedudukan alat bukti tersebut diperlukan beberapa tahapan, antara lain:

  1. Setelah para pihak mengajukan bukti elektronik tersebut di persidangan, maka Majelis Hakim harus memastikan otentifikasi atau keaslian terhadap bukti elektronik tersebut dengan melihat syarat formil dan materil alat bukti.
  2. Syarat formil bukti elektronik tidak ditentukan jelas dalam Undang-undang, akan tetapi syarat formil bukti elektronik dapat dilakukan penafsiran lebih lanjut dalam Pasal 6 Undang-undang ITE ‘Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan’.
  3. Menjamin keutuhan data dan dapat dipertanggung jawabkan dapat dilakukan dengan cara Digital Forensik berdasarkan PP No. 82 Tahun 2012 dan ISO 27037-2012. Dengan output berupa Audit Trail, Chain of Custody dan Berita Acara pemeriksaan alat bukti.
  4. Syarat materiil alat bukti elektronik adalah adanya relevansi bukti tersebut terhadap materi gugatan atau yang disengketakan.
    1. Kedudukan Bukti Elektronik Pada Perkara Perdata Di Pengadilan Agama

Kedudukan bukti elektronik dinilai oleh Majelis Hakim berdasarkan pada terpenuhinya syarat formil dan materiil bukti elektronik tersebut, oleh karena tidak adanya aturan khusus yang mengatur tentang Hukum Acara alat bukti elektronik di persidangan sehingga menimbulkan multi tafsir terhadap kedudukannya sebagai alat bukti. Penafsiran tersebut antara lain:

  1. Bukti Permulaan

Bukti elektronik menjadi bukti permulaan ketika bukti elektronik tersebut memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana penulis jelaskan diatas, sehingga bukti elektronik tersebut tidak dapat berdiri sendiri.

      2. Bukti Persangkaan

Bukti elektronik berkedudukan menjadi bukti persangkaan apabila bukti elektronik tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil alat bukti dan telah menjadi bukti permulaan, kemudian Hakim merasa bahwa bukti permulaan tersebut dapat untuk dipertimbangkan kebenarannya, sehingga menjadi bukti persangkaan.

     3. Bukti Pengakuan

Dalam hal ini pengakuan yang dimaksud adalah pengakuan dari pihak lawan tentang otentifikasi bukti elektronik tersebut, maka tidak perlu dilakukan digital forensik jika pihak lawan telah mengakui kebenaran bukti elektronik tersebut maka patut untuk dipertimbangkan dengan adanya atau dikuatkan dengan pengakuan pihak lawan.

    4.  Dikesampingkan atau tidak dapat dipertimbangkan

Adalah apabila bukti elektronik tidak memenuhi syarat formil dan syarat materil serta tidak di akui oleh pihak lawan, maka bukti tersebut haruss dikesampingkan sebagai alat bukti

III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 telah mengatur tentang bukti elektronik yang merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti di muka persidangan.

2. Kedudukan bukti elektronik pada perkara perdata di Pengadilan Agama terdapat multi tafsir karena belum diatur secara tegas dalam Hukum Acara bukti elektronik, namun berdasarkan asas ius curia novit maka Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, maka Undang –Undang ITE yang telah mengatur bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, dapat digunakan sebagai dasar untuk mejadikan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersidangan.

 


[1] Modul Diklat Tahap 3, Bukti Elektronik di Persidangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung RI, 2019

[2] Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif Teoritis dan Praktik. 2008, Alumni. ISBN: 978-9-79414045-1, hlm 81.

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Kotabumi

Jalan Letjen H. Alamsyah Ratu Perwira Negara No. 138

Kelurahan Kelapa Tujuh, Kecamatan Kotabumi Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

Lihat Lokasi

Telp :  (0724) 24305

Faks:  (0724) 24305

Email :   Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.